Ayip Tayana (Analis Indeks Data Nasional)
Pidato Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 di New York menjadi momentum penting, bukan hanya bagi diplomasi Indonesia, tetapi juga sebagai cermin jati diri bangsa di hadapan dunia. Lebih dari sekadar pernyataan resmi negara, pidato ini adalah artikulasi nyata dari nilai-nilai fundamental Indonesia yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang tidak hanya hidup dalam ruang domestik, tetapi juga relevan dalam percaturan global.
Pancasila: Nilai Lokal yang Menjadi Bahasa Global
Apa yang disampaikan Presiden Prabowo tidak lepas dari semangat lima sila dalam Pancasila. Saat menegaskan kesetaraan semua bangsa dan pentingnya menjunjung martabat manusia, Presiden sejatinya sedang membawa pesan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” ke forum dunia. Sila pertama ini tidak berhenti pada pengakuan terhadap keberadaan Tuhan, tetapi juga pada kesadaran bahwa setiap manusia, tanpa memandang latar belakang, memiliki nilai dan harga diri yang sama dihadapanNya.
Dukungan eksplisit terhadap kemerdekaan Palestina serta penolakan atas segala bentuk penindasan mencerminkan spirit sila kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Ini bukan hanya solidaritas politis, tetapi wujud keberpihakan pada nilai universal: bahwa keadilan dan kemanusiaan tidak mengenal batas negara.
Selanjutnya, penekanan terhadap pentingnya solidaritas antarbangsa dalam menyelesaikan persoalan global mencerminkan semangat sila ketiga “Persatuan Indonesia”, yang kini diperluas ke lingkup antarbangsa. Indonesia tidak datang ke PBB sebagai suara satu kelompok, tetapi suara negara yang kokoh dalam keberagaman dan menyuarakan kepentingan kolektif umat manusia.
Ketika Presiden mengecam logika “yang kuat menindas yang lemah” dan menyerukan perlunya musyawarah dalam menentukan arah masa depan dunia, itu adalah pengamalan nyata dari sila keempat “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Dunia, yang menurut Indonesia, tidak boleh dikendalikan oleh segelintir kekuatan besar, tetapi oleh kebijaksanaan kolektif komunitas internasional.
Dan akhirnya, seruan untuk membangun tatanan global yang lebih adil dan merata adalah perluasan dari sila kelima “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Keadilan, dalam pandangan Indonesia, tidak boleh berhenti di dalam negeri. Ia harus menjadi prinsip dunia.
UUD 1945: Amanat Konstitusi dan Kompas Diplomasi
Landasan konstitusional dari pidato ini juga sangat kuat. Alinea pertama Pembukaan UUD 1945 dengan jelas menyatakan: “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.” Prinsip ini bukan hanya warisan sejarah, tetapi juga kompas moral yang terus menuntun arah diplomasi Indonesia, terutama dalam isu-isu seperti Palestina.
Sejarah panjang penjajahan yang dialami Indonesia menjadikan bangsa ini tidak mungkin bersikap netral saat melihat ketidakadilan yang dialami bangsa lain. Empati kolektif yang lahir dari pengalaman masa lalu itu kini menjadi energi moral yang membentuk sikap politik luar negeri Indonesia yang berdasarkan amanat alinea kedua dan keempat UUD 1945. Alinea keempat secara khusus memuat misi Indonesia untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Dengan demikian, apa yang disampaikan Presiden bukanlah semata pandangan pribadi atau kepentingan politik sesaat, tetapi merupakan implementasi dari mandat konstitusional yang telah diwariskan sejak awal berdirinya Republik.
Diplomasi Indonesia: Modal Moral dan Kultural
Pidato Presiden ini juga menegaskan bahwa kekuatan utama diplomasi Indonesia bukanlah kekuatan senjata atau kekuatan ekonomi, kekuatan diplomasi Indonesia adalan NILAI. Bangsa ini lahir dari penderitaan karena dijajah, tumbuh dalam keberagaman, dan bersatu dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika. Nilai gotong royong, toleransi, dan solidaritas yang telah mengakar dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia kini tampil sebagai aset diplomasi yang kuat di forum dunia.
Dukungan Indonesia terhadap solusi dua negara pada konflik Israel – Palestina misalnya, menunjukkan nasionalisme Indonesia yang inklusif, nasionalisme yang tidak membatas diri dari dunia luar, tetapi membuka ruang empati dan solidaritas bagi bangsa lain. Begitu pula perhatian terhadap isu-isu global seperti krisis iklim, kesenjangan ekonomi, dan pengentasan kemiskinan adalah perwujudan dari amanat konstitusi untuk “memajukan kesejahteraan umum.”
Indonesia dan Diplomasi Nilai
Apa yang dibawa Presiden Prabowo ke panggung PBB adalah sesuatu yang jarang dimiliki banyak negara: kekuatan nilai. Di tengah dunia yang semakin pragmatis dan berorientasi pada kekuasaan dan kepentingan jangka pendek, Indonesia menawarkan alternatif: politik luar negeri yang berakar pada prinsip, bukan pada kepentingan sempit, berakar pada nilai, bukan sekadar posisi.
Pancasila bukan sekadar dasar negara yang menjadi hafalan siswa-siswi di sekolah. Pancasila adalah panduan moral dalam menentukan sikap terhadap dunia. Demikian pula UUD 1945 bukan semata teks hukum, tetapi mandat sejarah untuk berperan aktif dalam menciptakan dunia yang lebih adil, damai, dan bermartabat.
Pidato Prabowo, Suara dari Negara Kepulauan Terbesar Dunia
Indonesia tidak memiliki kekuatan super dalam militer maupun ekonomi di dunia. Tapi Indonesia memiliki kekuatan yang tak bisa diremehkan: kekuatan legitimasi moral dan nilai-nilai kemanusiaan. Inilah yang ditampilkan Presiden Prabowo di panggung dunia, bahwa Indonesia adalah bangsa yang berdiri tegak karena prinsip, dan bahwa Pancasila dan UUD 1945 bukan hanya untuk kita, tetapi untuk dunia.